Hukum Melafazkan Niat

Niat tempatnya di hati, bukan diucapkan dengan lisan; dalam semua ibadah, seperti bersuci (thaharah), shalat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak serta berjihad di jalan Allah, dan lainnya. Meskipun yang diucapkan lisan berbeda dengan apa yang ia niatkan dalam hati, maka yang diperhitungkan ialah yang diniatkan, bukan yang dilafazhkan. Walaupun ia mengucapkan dengan lisannya bersama niat, sedangkan niat belum sampai ke dalam hatinya, maka hal itu tidak cukup. Demikian menurut kesepakatan para imam kaum Muslimin, karena sesungguhnya niat itu adalah jenis tujuan dan kehendak yang pasti.

Orang Arab biasa mengatakan:

نَوَاكَ الُ بِخَيْرٍ

(Allah menunjukkan kepada kamu kebaikan)

Al-Qadhi Abur Rabi’ Sulaiman bin ‘Umar Asy Syafi’i mengatakan: “Melafazhkan niat di belakang imam bukan perkara sunnah, bahkan hukumnya makruh. Jika mengganggu orang lain, maka hukumnya haram. Barangsiapa yang mengatakan bahwa melafazhkan niat termasuk sunnah, maka dia salah; dan tidak halal bagi siapapun berkata dalam agama Allah tanpa ilmu.” (Al Qaulul Mubin Fi Akhtha’il Mushallin, hlm. 91).

Abu Abdillah Muhammad bin Qasim At Tunisi Al Maliki mengatakan: “Niat termasuk amal hati, dan melafazhkan niat adalah bid’ah. Disamping itu, juga mengganggu orang lain.” (Ibid, hlm. 91). Talafuzh (melafazhkan) niat tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika berwudhu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membaca “nawaitu raf al hadatsil ashghar”, dan tidak juga membaca “nawaitu raf al hadatsil akbar” ketika mandi janabah (junub). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak melafazhkan niat “nawaitu fardha Dhuhri arba’a raka’atin mustaqbilal qiblati”, …ketika mulai shalat atau ketika mulai puasa dan lainnya.

Melafazhkan niat tidak pernah diriwayatkan oleh seorangpun, baik dengan riwayat yang shahih, dhaif, maupun mursal. Tidak seorangpun sahabat yang meriwayatkan, dan tidak ada seorang tabi’in pun yang menganggap baik masalah ini, dan tidak pula dilakukan oleh empat Imam Madzhab yang mashur, seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan talafuzh niat, meski hanya satu kali dalam shalatnya, dan tidak pula dilakukan oleh para khalifahnya. Ini petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah para sahabat. Tidak ada petunjuk yang lebih sempurna, melainkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya:

وَ خَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمّدٍ

"Sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam."
[HR. Bukhari 5633]

Imam Jalaluddin As Suyuti (wafat th. 921 H) berkata: “Di antara perkara yang termasuk bid’ah ialah, was-was dalam niat shalat. Hal ini tidak pernah dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak juga para sahabatnya. Mereka tidak pernah mengucapkan sesuatu bersama niat shalat (nawaitu ushalli, … ), selain hanya takbiratul ihram saja. Allah berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ الِّ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لّمَن كَانَ يَرْجُو الَّ وَالْيَوْمَ الْخِرَ وَذَكَرَ الَّ كَثِيراً

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al Ahdzab : 21)

Imam Syafi’i mengatakan, orang yang was-was dalam niat shalat dan bersuci, adalah orang yang bodoh tentang syari’at dan rusak pikirannya. (Al Amru Bil Ittiba’ Wan Nahyu ‘Anil Ibtida’, oleh Imam Jalaludin As Suyuthi, hlm. 295-296, tahqiq Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman). Sebab kekeliruan orang-orang yang mengikuti madzhab Syafi’i ialah, karena kesalahfahaman dalam memahami perkataan Imam Asy Sayafi’i. Imam Syafi’i mengatakan: “Apabila seseorang niat haji dan umrah sudah cukup, meskipun tidak dilafazhkan. (Ini) berbeda dengan shalat, karena shalat itu tidak sah melainkan dengan ucapan.” Imam Nawawi mengatakan: “Telah berkata para sahabat kami (ulama dari madzhab Syafi’i), orang yang memahami bahwa ucapan itu (ushalli,…) adalah keliru. Karena yang dimaksud Imam Asy Syafi’i bukan demikian. Akan tetapi, yang dimaksud beliau rahimahullah adalah ucapan mulai shalat, yaitu takbiratul ihram.”

Dengan demikian, para ulama memfatwakan, bahwa melafazhkan niat adalah bid’ah dan munkar, dan jauh dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Niat yang Ikhlas Merupakan Dasar Diterimanya Amal

Keberadaan niat harus disertai dengan menghilangkan segala keburukan, nafsu, dan keduniaan. Niat itu harus ikhlas karena Allah dalam setiap amal, agar amal itu diterima di sisi Allah. Setiap amal shalih mempunyai dua syarat, yang tidak akan diterima kecuali dengan keduanya, yaitu: Pertama, niat yang ikhlas dan benar. Kedua, sesuai dengan Sunnah, mengikuti contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan syarat pertama, kebenaran batin akan terwujud. Dan dengan syarat kedua, kebenaran lahir akan terwujud. Tentang syarat pertama telah disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya amal-amal itu hanya tergantung pada niatnya.” Inilah yang menjadi timbangan batin. Sedangkan syarat kedua disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ عَمِلَ عَمَلً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدّ

"Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntutan dari kami, maka amalan tersebut tertolak."
(HR. Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718, Abu Dawud no. 4606 dan Ibnu Majah no. 14 dari hadits Aisyah)

Allah telah menyebutkan dua syarat ini dalam beberapa ayat, di antaranya:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِيناً مّمّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ ل وَهُوَ مُحْسِنٌ واتّبَعَ مِلّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَاتّخَذَ الّ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلً

"Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan diapun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus." (QS An Nisa`: 125)

Menyerahkan dirinya kepada Allah artinya, mengikhlaskan amal kepada Allah, mengamalkan dengan iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah. Sedangkan berbuat baik artinya, dalam beramal mengikuti apa yang disyariatkan Allah, dan apa yang dibawa oleh Rasul-Nya berupa petunjuk dan agama yang haq.

Dua syarat ini, bila salah satunya tidak terpenuhi, maka amal ini tidak sah. Jadi harus ikhlas dan benar. Ikhlas karena Allah, dan benar mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lahirnya ittiba’, dan batinnya ikhlas. Bila salah satu syarat ini hilang, maka amal itu akan rusak. Bila hilang keikhlasan, maka orang itu akan jadi munafik dan riya’ kepada manusia. Sedangkan bila hilang ittiba’, artinya tidak mengikuti contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang itu sesat dan bodoh (jahil). (Tafsir Ibnu Katsir, I/616, Cet. Darus Salam).

Dari uraian di atas, jelaslah, betapa pentingnya peran niat dalam amal. Niat itu harus ikhlas. Dan ikhlas semata tidak cukup menjamin diterimanya amal, selagi tidak sesuai dengan ketetapan syariat dan dibenarkan Sunnah. Sebagaiman amal yang dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat, tidak akan diterima, selagi tidak disertai dengan ikhlas; sama sekali tidak ada bobotnya dalam timbangan amal.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Leave a comment