Hukum istri pergi meninggalkan rumah dan melawan suami dalam Islam


Hukum istri pergi meninggalkan rumah dan melawan suami dalam Islam

Dalam beberapa hari ini teman saya Abi, membuat saya agak pusing karena dia bertanya : Apa hukumnya istri pergi meninggalkan rumah dan suami dalam Islam? Bagaimana  nggak pusing? jawaban cepat Mbah Google saat ditanya “Hukum isteri pergi meninggalkan suami” jawabannya malah : ” Hukum suami pergi meninggalkan istri “, Mbah Google yang pinter aja jawabannya melenceng nggak fokus sampai bingung jawab kebalikannya. Sebenarnya mbah Google  nggak salah,  hanya saja memang jarang ada seorang istri pergi meninggalkan suami yang sering terjadi adalah suami meninggalkan isteri.
Saat saya ditanya, sebenarnya saya menikah belum ada 40 hari (17 Desember 2009) jadi belum pengalaman dan nggak ada bayangan sama sekali ditinggal isteri, jadi agak susah juga jawab pertanyaan Abi, apalagi istri saya ini selama ini baik dan taat pada suami jadi nggak kepikiran untuk itu. Untuk sementara saya jawab saja pertanyaan Abi dengan menyuruh Abi untuk sabar dan koreksi diri sedangkan jawaban singkat pertanyaan diatas adalah hukumnya Haram. Untuk jawaban lengkap selanjutnya saya suruh Abi baca di Blog ini, Demi niat baik karena Allah, jawaban saya ini saya upload di blog ini agar mungkin bisa bermanfaat juga bagi yang lain.
Kepada Abi saya bilang: Jika isterimu adalah seorang wanita Islam, muslimah yang taat kepada Allah dan Rasulnya serta takut akan adzab Allah, Saya yakin Isterimu pasti akan sangat mengerti dan paham dengan uraian saya dibawah:
Suami tidak perhatian, selingkuh, sakit hati dengan perkataan atau perbuatan suami, penghasilan kurang, suasana rumah tidak menyenangkan biasanya dijadikan alasan untuk melegalkan atau membenarkan tindakan seorang istri meninggalkan suaminya dengan pergi menginap ke tempat lain (teman, saudara, kantor, ortu dll) dengan harapan dapat menyelesaikan masalah atau hanya memberi pelajaran kepada suami agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Tidakan isteri meninggalkan suami ini sering dianggap ringan atau sepele oleh sebagian wanita yang tidak mengerti hukum islam tapi jika tindakan ini dilakukan terhadap seorang pria muslim yang paham hukum agama akan sangat fatal dan berat akibatnya karena agama Islam melarang dengan keras hal tersebut.
Isteri meninggalkan rumah tidak akan menyelesaikan masalah justru akan memperberat masalah, suami akan mempunyai kesan istri lari dari tanggung jawab kewajiban sebagai isteri, membuat suami menjadi sakit hati sehingga menjadi ringan untuk menceraikannya serta menambah fitnah bagi diri sendiri dan suaminya. Apalagi jika isteri pergi meninggalkan rumah karena dimarahi suami yang menasehatinya sungguh sangat berdosa karena perbuatan isteri ini akan di laknat oleh Allah dan malaikatpun memarahinya (lihat Hadist Riwayat Abu Dawud dibawah) .
Setan selalu berusaha untuk membujuk dan mengajak manusia untuk berbuat sesuatu yang tidak diridhoi Allah dan rasulnya. Setan bernama Dasim tugasnya membujuk seorang isteri agar tidak taat kepada suami dan mempengaruhi seorang isteri agar pergi meninggalkan rumah dengan berbagai alasan untuk membenarkan perbuatan diatas meskipun sudah jelas bahwa perbuatan tersebut dilarang oleh Quran dan Hadist. Alasan sakit hati karena perbuatan / perkataan suami, yang kadang dijadikan alasan isteri untuk membenarkan tindakan meninggalkan rumah dan suami. Seringkali ada Pihak ketiga (PIL) yang kadang menjadikan seorang isteri semangat meninggalkan suami meskipun tidak semuanya demikian.
Pada Intinya seorang isteri tidak boleh meninggalkan rumah tanpa izin suaminya, jadi meskipun dinasehati dan kurang diperhatikan suami saat isteri dalam keadaan sakit bukan berarti bisa melanggar aturan Allah . Orang sakit kurang makan bukan berarti dia boleh mencuri makanan karena mencuri adalah dosa apapun alasannya. Begitu juga sakit yang diberikan oleh Allah kepada seorang isteri sebagai pemberi peringatan dari Allah bukan berarti seorang istri boleh menyakiti hati suami dengan pergi meninggalkan rumah dan meninggalkan suaminya.
Istri yang pergi dari rumah, meninggalkan suami menginap di tempat lain dan meninggalkan suaminya dalam keadaan marah sedangkan suami tidak ridho apapun alasannya, bagi wanita yang mengerti hukuman Allah sangat berat pasti akan sangat menyesal dan tidak akan pernah berani satu kalipun melakukannya karena jika seorang Isteri pergi meninggalkan rumah dan suaminya artinya :
1. Isteri tersebut bukan seorang wanita yang baik .

Isteri meninggalkan suami atau pergi tanpa izin suami bukanlah termasuk golongan wanita yang baik karena isteri yang baik akan menghormati pemimpinnya (suaminya). Pemimpin rumah tangga dalam Islam adalah suami bukan Isteri karena Suami mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi dari isterinya. dan yang paling penting adalah suami telah memberi makan maupun tempat tinggal bagi isterinya jadi sudah sewajarnya jika isteri berkewajiban untuk taat pada suaminya selama suami menyuruh dalam kebaikan (bukan kemaksiatan) Firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 34 dan Al Baqoroh ayat 228:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka Wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An-Nisa 34)
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana Surat Al Baqoroh ayat 228

Seorang isteri yang pergi meninggalkan rumah tanpa izin suami dengan alasan apapun dan dalam kepergiannya tidak bermaksiatpun tetap saja termasuk wanita tidak baik (pembangkang) apalagi jika dia pergi dengan berpakaian yang tidak sopan seperti wanita pada jaman Jahiliyah
Dan Surat Al Ahzab ayat 33 yaitu :
Menetaplah di rumah kalian ( para wanita ), dan jangan berdandan sebagaimana dandanan wanita-wanita jahiliyah. Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan patuhilah ( wahai para wanita) Allah dan rasul-Nya.
Sabda Nabi SAW : “Barangsiapa yg taat kepadaku maka ia telah taat kepada ALLAH, dan barangsiapa yg tidak taat kepadaku maka berarti tidak taat kepada ALLAH. Barangsiapa yg taat kepada Pimpinan (Islami) maka berarti ia telah taat kepadaku, dan barangsiapa yg tidak taat kepada pimpinan (islami) maka berarti ia telah tidak taat kepadaku.”HR Bukhari, kitab al-Jihad, bab Yuqatilu min Wara’il Imam, juz-IV, hal.61
Jika seorang suami karena suatu hal (Penghasilan kurang, PHK, Kecelakaan dll) suami menjadi kurang / tidak dapat memberikan kewajibannya terhadap isteri bukan berarti isteri boleh meninggalkan  rumah, karena memang tidak ada hukum Islam yang membolehkan seorang Isteri meninggalkan rumah tanpa izin karena faktor tersebut, karena jika suami tidak dapat melakukan kewajibannya maka gugatan cerai pada suami adalah jalan terbaik bukan malah pergi meninggalkan rumah atau suaminya



2. Isteri meninggalkan rumah tanpa izin suami akan dilaknat oleh Allah dan dimarahi oleh para malaikat.
Sabda Rasullulah SAW :
Hak suami terhadap isterinya adalah isteri tidak menghalangi permintaan suaminya sekalipun semasa berada di atas punggung unta , tidak berpuasa walaupun sehari kecuali dengan izinnya, kecuali puasa wajib. Jika dia tetap berbuat demikian, dia berdosa dan tidak diterima puasanya. Dia tidak boleh memberi, maka pahalanya terhadap suaminya dan dosanya untuk dirinya sendiri. Dia tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Jika dia berbuat demikian, maka Allah akan melaknatnya dan para malaikat memarahinya kembali , sekalipun suaminya itu adalah orang yang alim. (Hadist riwayat Abu Daud Ath-Thayalisi daripada Abdullah Umar)

3. Isteri meninggalkan suami sama saja dengan menjerumuskan dirinya sendiri ke neraka karena suami berperan apakah isterinya layak masuk surga atau neraka.
Isteri pergi meninggalkan suami artinya dia tidak taat kepada suaminya padahal jika seorang isteri tahu bahwa taat pada suami bisa mengantar dia ke surga pastilah dia akan menyesal melakukan hal itu sesuai dengan hadist Rasullullah SAW :
Dari Husain bin Muhshain dari bibinya berkata: “Saya datang menemui Rasulullah SAW. Beliau lalu bertanya: “Apakah kamu mempunyai suami?” Saya menjawab: “Ya”. Rasulullah SAW bertanya kembali: “Apa yang kamu lakukan terhadapnya?” Saya menjawab: “Saya tidak begitu mempedulikannya, kecuali untuk hal-hal yang memang saya membutuhkannya” . Rasulullah SAW bersabda kembali: “Bagaimana kamu dapat berbuat seperti itu, sementara suami kamu itu adalah yang menentukan kamu masuk ke surga atau ke neraka” (HR. Imam Nasai, Hakim, Ahmad dengan Hadis Hasan).
4. Memusuhi suami sama saja dengan memusuhi Allah.
Seorang isteri yang meninggalkan suami dan memusuhi suaminya padahal suami baik pada isterinya. Sangatlah tidak mungkin masuk surga karena Bagaimana mungkin seorang isteri berharap masuk surga jika Allah memusuhinya. Bahkan jika sampai suami terluka hati / fisiknya maka Allah dan Rasullullah SAW akan memisahkan diri dari isteri tersebut. Hal ini dijelaskan dalam Hadist Rasullullah SAW :
“Tidaklah istri menyakiti suami di dunia kecuali ia bicara pada suami dengan mata yang berbinar, janganlah sakiti dia (suami), agar Allah tidak memusuhimu, jika suamimu terluka maka dia akan segera memisahkanmu kepada Kami (Allah dan Rasul)”. HR. Tirmidzi dari Muadz bin Jabal.
5. Isteri meninggalkan suami tidak ada nafkah baginya dan layak mendapat azab.
Seorang Ulama dan pemikir Islam yang sangat terkenal akan kecerdasannya dan sangat dikagumi oleh para ulama pada waktu itu, penghafal Quran dan Ribuan Hadist, ahli Tafsir dan Fiqh dari Harran, Turki yaitu Ibnu Taimiyah sampai berkata: “Jika isteri keluar rumah suami tanpa seijinnya maka tidak ada hak nafkah dan pakaian”. Tidak dihalalkan bagi isteri untuk keluar dari rumah suaminya kecuali dengan ijinnya (suami),Dan apabila ia keluar dari rumah suaminya tanpa seijinnya maka ia telah berbuat nusyuz (durhaka) bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya dan ia layak mendapat adzab.”

Ibnu Taimiyah (1263-1328) adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia pernah berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.”
6. Taat kepada suami pahalanya seperti Jihad di jalan Allah
Jika seorang isteri taat kepada suaminya serta tidak pergi meninggalkan suami maka pahalanya sama dengan jihad di jalan Allah. Perhatikan hadist berikut: Al- Bazzar dan At Thabrani meriwayatkan bahwa seorang wanita pernah datang kepada Rasullullah SAW lalu berkata : Aku adalah utusan para wanita kepada engkau untuk menanyakan : Jihad ini telah diwajibkan Allah kepada kaum lelaki, Jika menang mereka diberi pahala dan jika terbunuh mereka tetap diberi rezeki oleh Rabb mereka, tetapi kami kaum wanita yang membantu mereka , pahala apa yang kami dapatkan? Nabi SAW menjawab :” Sampaikan kepada wanita yang engkau jumpai bahwa taat kepada suami dan mengakui haknya itu adalah sama dengan pahala jihad di jalan Allah, tetapi sedikit sekali di antara kamu yang melakukanya.

Jadi akan sangat tidak mungkin bagi seorang isteri yang mengaku mengerti hukum agama Islam tapi pergi meninggalkan tanggung jawab sebagai isteri meninggalkan suaminya dari rumah.
Oleh karena itulah sangatlah penting untuk memilih istri yang mengerti akan hukum agama dan memilih isteri itu bukan karena kecantikan atau hartanya tapi dipilih karena agamanya agar selamat tidak terjerumus kedalam panasnya Api neraka. Sabda Rasullullah SAW :Wanita itu dinikahi karena: hartanya, kecantikannya, keturunannya dan agamanya. maka pilihlah agamanya agar kamu selamat” Hadist Shahih Bukhari.
Dunia adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangan di dunia adalah isteri yang baik (sholehah) ” Hadist Shahih Muslim.
Lebih mulia seorang wanita memberi nasehat atau berbicara dari hati ke hati dengan suami bukan kepada orang lain jika terjadi ketidakadilan pada dirinya daripada langsung pergi meninggalkan suaminya . Seorang isteri yang benci terhadap suaminya dan memang berniat meninggalkan suami supaya di cerai dan kemudian berharap memperoleh pasangan pengganti atau sudah ada pengganti yang lebih baik menurut dirinya, jelas sekali wanita itu digoda setan agar wanita ini melihat lelaki lain lebih menarik dari suaminya sehingga timbul rasa bosan, cekcok dll dan akhirnya berbuntut pada perceraian.
Allah SWT telah mengingatkan kita agar tidak membenci atau menyukai sesuatu padahal kita tidak tahu rahasia dibalik itu, dalam Al Baqoroh ayat 216 : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”
Saya lanjutkan, Usaha setan bisa dikatakan sukses besar bila berhasil menjadikan wanita itu cerai dan berpredikat janda karena wanita ini akan lebih mudah digoda sebab tidak ada yang menjaganya (suami) . Wanita ini akan merasa bebas tidak ada ikatan, lebih nyaman karena tidak ada yang mengontrol (suami), selanjutnya jika tidak kuat imannya (kebanyakan tidak kuat) akan timbul banyak fitnah dan dosa bagi wanita itu di kemudian hari. Godaan setan akan lebih kuat pada saat janda karena faktor alami kebutuhan batin selain itu akan banyak lelaki yang merayu yang memanfaatkan kondisi janda sehingga menyeret wanita itu dalam lembah dosa yang tiada berkesudahan sampai wanita itu sadar jika suatu saat sakit atau sudah berumur tidak ada yang menemani sampai meninggal. Pada umumnya Wanita yang menjanda karena tergoda pria lain akan lebih mudah tergoda nafsunya apalagi jika  dicerai pada umur 40 tahun kebawah.
Pernikahan adalah hal yang suci melibatkan keluarga, handai taulan dan tetangga jadi tidak sepantasnyalah jika seorang isteri meninggalkan suaminya untuk alasan emosi pribadi dengan meninggalkan perasaan kebahagiaan keluarganya sendiri atau keluarga pasangannya.
Atas kehendak Allah, rezeki yang lebih bisa diberikan pada isteri bukan pada suami, jadi janganlah menjadi tinggi hati jika suatu saat rezki isteri melebihi suami, merasa lebih bermanfaat dari suami, merasa bisa hidup sendiri dan dapat mengatasi sendiri segala hal, tidak mau diatur sehingga tidak patuh kepada suami. Inilah tanda-tanda kehancuran suatu kapal pernikahan karena ada 2 nahkoda yang mengendalikan kapal dengan arah berlawanan. Kapal Pernikahan akan bisa selamat sampai tujuan (surga dunia akhirat) jika hanya punya satu arah yang disepakati dan diusahakan bersama. Bagaimanapun juga tujuan hidup akan lebih mudah dicapai jika ada keharmonisan sejati yang hanya dapatdicapai dalam suatu keluarga yang lengkap ada suami. Harta yang dibanggakan dan dikumpulkan bisa hilang dalam sekejab (kebakaran, tsunami dll) tapi mempunyai suami atau isteri yang sholeh adalah harta tidak ternilai yang tidak akan hilang kecuali mati. Oleh karena itulah peran isteri terhadap suami sangat besar dalam mengarungi samudera kehidupan agar tujuan akhir bahagia dunia akhirat dapat segera tercapai sehingga Allah pun akan memberi pahala yang besar untuk isteri yang taat dan patuh kepada suaminya
Banyak Hadist yang menjelaskan pahala seorang Istri yang taat pada suaminya :
Jika seorang isteri itu telah menunaikan solat lima waktu dan berpuasa pada bulan ramadhan dan menjaga kemaluannya daripada yang haram serta taat kepada suaminya, maka dipersilakanlah masuk ke syurga dari pintu mana sahaja kamu suka.” (Hadist Riwayat Ahmad dan Thabrani)
Sesungguhnya setiap isteri yang meninggal dunia yang diridhoi oleh suaminya, maka dia akan masuk syurga.” (Hadist riwayat Tirmizi dan Ibnu Majah)
Jika isteri memang tidak taat kepada suaminya, setelah dinasehati secara halus, berpisah ranjang dan dinasihati secara keras tidak berhasil maka renungkanlah :
Surat An Nur ayat 3 yaitu :
“ Orang laki-laki pezina, yang dinikahinya ialah perempuan pezina pula atau perempuan musyrik. Perempuan pezina jodohnya ialah laki-laki pezina pula atau laki-laki musyrik , dan diharamkan yang demikian itu atas orang yang beriman”.
Pikirkanlah kembali apakah wanita ini cocok dijadikan pasangan / isteri bagi pria beriman, dan dapat membawa kebaikan bagi diri sendiri dan keluarga, ikhlaskan saja wanita ini jika ingin berpisah mungkin jodohnya adalah sesuai dengan apa yang di firmankan Allah diatas.
Nasehatilah isterimu dengan sabar dan penuh cinta kasih, minta maaflah kepada isteri jika menyakiti hati isteri, bagaimanapun juga mutiara yang kotor jika digosok tiap hari akan menjadi berkilauan. Hasilnya mutiara ini bisa benar-benar menjadi perhiasan dan surga dunia bagimu.
Ingatlah isterimu bukanlah Siti Khadijah yang baik, taat dan penuh cinta kasih pada suaminya, Istrimu adalah wanita jaman sekarang yang butuh bimbingan untuk menjadi wanita yang solehah.
Semoga Allah SWT membukakan hati dan pikiran isteri teman saya Abi sehingga sadar akan tindakannya Amin
Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Menuju Rumah Tangga yang Harmonis



Suami Mencintai Istri
    
 
Suami kepada istri di awal pernikahan demikian mesra bergaul. Kata-katanya pun diatur sedemikian rupa agar tidak menyinggung perasaan sang primadona. Setiap benda atau simbol maknawi dikomunikasikan dengan BAHASA LUBUK HATI. Rasa kasih namanya.
Begitu pula sang istri menanggapi tutur dan sikap kasih suami dengan penuh sentimentil. Yang berbicara bukan lagi logika tapi LUBUK KALBU. Oh, betapa indahnya hidup ini.
Inilah gambaran hidup sang pengantin baru. Mungkinkah KASIH SAYANG TERTAMBAT ABADI DALAM LUBUK HATI YANG DALAM?
Bagi pasangan muslim, GAMBARAN CINTA MESRA ADALAH SUATU YANG SAKRAL. Ia perlu dipertahankan, menutupi ketidaksukaan suami kepada kelemahan istri menjadi suatu kewajiban nilai. Bukan sekedar ungkapan di bibir. "Dia tidak pernah mencela suatu makanan, jika dia suka ia makan, dan jika dia benci dia meninggalkannya" (HR Bukhari Muslim)
Kisah Aisyah dengan Rasulullah menjadi buah ibroh (pelajaran) teladan. Betapa Rasulullah menjaga cinta kasih dengan Aisyah selama mata belum berkatup. Ketika kaum Habsyi bermain tombak di masjid, Rasulullah bersikap aduhai mesra. Beliau mendedahkan kain sebagai hijab berlobang, agar Aisyah bisa menonton pertunjukan heroik tersebut. Aisyah melihat pertunjukan dari balik leher/tengkuk, agar sesekali bisa bersentuhan dengan dada Rasulullah.
Kisah lain, betapa Rasulullah bermain mesra. Lomba berlari. Sesekali Rasulullah berlari dengan lambat tapi pasti mengalahkan Aisyah. Sesekali beliaupun mengalah demi suka ria Aisyah, demi membahagiakan istri.
Inilah gambaran HIDUP IDEAL DAN NYATA. Rasulullah melaksanakannya dengan istri-istrinya. Kadang Aisyah pun iri pada sikap Rasul yang membanggakan Khadijah. Istri pertama beliau ini memberi kehangatan hidup, membela lahir dan batin, dikala rumah tangga jihad bergelombang. Khadijah lebih banyak mendapat duka dalam liku-liku pembentukan Qo'idah Ash-Sholbah.
SUAMI QONA'AH (SEDERHANA)
"Tidak ada pada kami kecuali cuka, lalu Rasul minta cuka itu sebagai lauk. Lalu makanlah beliau berlaukkan cuka", demikian tutur salah seorang istri Rasul.
(HR Muslim)
Rasul selalu qona'ah (tidak neko-neko). Barangkali inilah salah satu kebanggaan para istri Rasul akan kepribadian beliau. Selain, beliau tampan, hangat, juga menyejukkan.
Tidak ada hati para istri yang gundah gulana disebabkan tindakan Rasul. Paling-paling sikap cemburu para istri terutama Aisyah bila ada wanita yang datang kepada beliau. "Jangan-jangan wanita ini menyerahkan diri untuk diperistri," inilah ungkapan kekhawatiran Aisyah. "Tidakkah aku menarik perhatian beliau ?", Aisyah berkontemplasi.
Bukan bersoalan itu yang berlaku pada Rasul. Beliau MENIKAHI BANYAK WANITA BUKAN DEMI NAFSU DUNIAWI, AKAN TETAPI DEMI DAKWAH, JIHAD DAN KELANJUTAN ISLAM.
Memang Aisyah pencemburu berat. Sulit diukur dengan neraca berapa berat tingkat cemburunya. Tetapi lebih cemburu lagi Rasulullah. Inilah ciri cinta yang masih melekat dalam dua pribadi sejarah. CEMBURU BUKAN HAL NEGATIF, TAPI SEBAGAI SUATU YANG INHEREN DALAM CINTA YANG FURQONI. Suami yang mempunyai rasa cinta kepada istrinya, tidak akan rela melihat istrinya diboyong atau digandeng oleh laki-laki lain. Jika sang istri ternyata dengan ?suka rela" mau diperlakukan seperti itu oleh laki-laki lain, maka sang suami akan berkata, "Saya harus menceraikannya". Inilah cemburu yang hak (yang benar)
Kadang suami harus pergi jauh, lama tidak kembali, baik untuk mencari nafkah, menuntut ilmu atau menyeru kepada Islam. Dalam kisah kasih suami istri Islami, istri akan mentsiqahi (percaya) pada amal suaminya. "Suamiku tidak akan menyeleweng dari Islam", hati kecil istri bicara. Istri pun di rumah menjaga kesucian dirinya. Ia tak akan menerima tamu di luar muhrim selama kepergian suami. Ia senantiasa menjaga anak-anak dan mendidiknya dengan pendidikan Islam serta menjaga segala harta dan wasiat suami. "Suamiku pasti kembali", suara hati sang istri penuh yakin. "Kalau pun ia tidak kembali ke pangkuan, pasti dia kembali kepada-Nya". Sang istri yakin betul akan takdir Allah. Ia selalu berprasangka baik kepada Allah dalam setiap keputusan-Nya yang hadir.
BERLAPANG DADA
Sebagai manusia, kadang-kadang seorang istri hanyut dalam arus kemarahan. Ia membuat sesuatu yang ganjil. Dengan sebab tertentu ia merubah sikap terhadap suaminya. Suami merasakan kemarahan tersebut. Lalu, suami menerima dengan lapang dada. Ia bersabar dan bersikap mulia. PANDANGAN YANG DALAM AKAN HAKEKAT KEJADIAN WANITA MEMBUAT SUAMI BERTOLERANSI TERHADAP ISTRI, bahwa wanita itu dijadikan dari tulang rusuk yang bengkok. Jika sang suami memaksa untuk meluruskannya, maka ia akan patah. Namun jika dibiarkan, maka ia juga akan tetap bengkok.
Sebagaimana Rasulullah pernah menunjukkan sikap beliau ketika Hafsah istri beliu berpaling semalaman dari beliau. Umar memarahi Hafsah dengan keras, karena menganggap anaknya (Hafsah) berani berpaling dari Rasulullah. Umpatan Umar tersebut disampaikan kepada Rasulullah. Tapi, Rasulullah menanggapinya dengan senyum simpul.
SUAMI TIDAK LAYAK MENAMPILKAN SOSOK DOMINASI, tidak mau kalah dalam segala hal, kecuali hal-hal yang prinsip. Untuk hal-hal tertentu suami mau menerima keluhan rasa kesal istri. Suami menanggapinya dengan hati yang sejuk menantramkan, bukannya malah ikut-ikutan marah.
Suatu ketika, para istri shahabat mengelilingi Rasulullah, mengadukan persoalan pribadi. Pasalnya suami-suami mereka terlalu kasar (HR Abu Daud, Nasa'i dan Ibnu Majah) padahal dalam firman Allah :
"Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah). Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak". (QS 4:19)
Dalil ayat ini menyuruh PARA SUAMI UNTUK MAMPU BERLAPANG DADA, MENERIMA FITRAH MANUSIAWI WANITA. Rasulullah pernah bersabda :
"Berwasiatlah kamu dengan cara yang baik kepada wanita sebab mereka dijadikan dari ulang rusuk yang bengkok. Dan sesungguhnya bagian yang paling bengkok di dalam tulang rusuk itu ialah bagian paling atas. Jika anda hendak meluruskannya secara keras dan paksa niscaya engkau akan patahkan dia dan jika anda membiarkan dia demikan ia akan senantiasa bengkok. Maka berwasiatlah kamu dengan baik kepada wanita". (HR Bukhari Muslim)
Suami yang berlapang dada, sabar atau menerima beberapa kelemahan sifat manusiawi wanita akan menjadi simbol kejayaan. Ia bisa adaptif dengan berbagai kronik kehidupan keluarga. Ia tahu bagaimana mengatasi dan mengelula konflik internal dan friksi hubungan sosial dengan istrinya. Ia tahu pula bagaimana cara menyelami lubuk jiwa istrinya dengan bijak, lembut, cerdik.
Kebahagiaan istri secara psikologi dalam keluarga adalah mendapatkan "rewards" positif untuk hal-hal yang positif, dan bila SUAMI BERSIKAP KONSISTEN ANTARA UCAPAN DAN TINDAKANNYA.
PEMIMPIN YANG BAIK
"Kaum lelaki adalah pemimpin (qowwam) bagi wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka".
(QS 4:34)
KECERDIKAN DAN SIKAP MENERIMA KEKURANGAN ISTRI, AKAN MENINGKATKAN PAMOR SUAMI DI HADAPAN ISTRI. Dalam memperbaiki kekurangan itu ia berusalah dengan cara LEMAH LEMBUT. Kebencian atau yang menyakitkan istri akan timbul, bila istri dimarahi di khalayak ramai.
Pemimpin yang baik (suami) dalam keluarga adalah KETELADANAN DAN TANGGUNG JAWAB YANG PENUH AKAN AMANAH YANG DIBERIKAN KEPADANYA.
"Kamu semua adalah pemimpin dan semua pemimpin bertanggung jawab atas semua kepemimpinannya. Dan setiap penanggung jawah adalah pemimpin, dan lelaki adalah pemimpin atas kapasitas keahliannya, dan wanita adalah penjaga suami dan anak-anaknya, maka semua kamu adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas rakyatnya". (HR Bukhari Muslim)
Jadi ISLAM MENUNTUT KAUM LAKI-LAKI, AGAR BERGAUL IHSAN (BAIK) DENGAN ISTRI, SEBALIKNYA ISLAM JUGA MENYURUH ISTRI AGAR PATUH DAN TAAT SETIA KEPADA SUAMINYA DALAM BATAS-BATAS HALAL. Dengan demikian kisah kasih cinta suami istri senantiasa dalam batas rahmat. Insya Allah akan tetap langgeng. Amin.
*IKATLAH ILMU DENGAN MENULISKANNYA*
Al-Hubb Fillah wa Lillah,
Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Keutamaan Dzikir Ketika Keluar Rumah


Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ: “بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ” قَالَ: « يُقَالُ حِينَئِذٍ: هُدِيتَ وَكُفِيتَ وَوُقِيتَ. فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ، فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ: كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِىَ وَكُفِىَ وَوُقِىَ
“Jika seseorang keluar dari rumahnya lalu membaca (zikir): Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi, walaa haula wala quwwata illa billah (Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada-Nya, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya), maka malaikat akan berkata kepadanya: “(sungguh) kamu telah diberi petunjuk (oleh Allah Ta’ala), dicukupkan (dalam segala keperluanmu) dan dijaga (dari semua keburukan)”, sehingga setan-setanpun tidak bisa mendekatinya, dan setan yang lain berkata kepada temannya: Bagaimana (mungkin) kamu bisa (mencelakakan) seorang yang telah diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga (oleh Allah Ta’ala)?” [1].
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan orang yang mengucapkan zikir ini ketika keluar rumah, dan bahwa ini merupakan sebab dia diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga oleh Allah Ta’ala [2].
Beberapa faidah penting yang dapat kita ambil dari hadits ini:
- Keutamaan yang disebutkan dalam hadits ini akan diberikan kepada orang yang mengucapkan zikir ini dengan benar-benar merealisasikan konsekwensinya, yaitu berserah diri dan bersandar sepenuhnya kepada Allah Ta’ala [3].
- Syaitan tidak memiliki kemampuan untuk mencelakakan orang-orang yang benar-benar beriman dan bersandar sepenuhnya kepada Allah Ta’ala[4], sebagaimana firman-Nya:
{إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ * إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ}
Sesungguhnya syaitan itu tidak memiliki kekuasaan (untuk mencelakakan) orang-orang yang beriman dan bertawakkal (berserah diri) kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaan syaitan hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah” (QS an-Nahl: 99-100).
- Bertawakal (berserah diri dan bersandar sepenuhnya) kepada Allah Ta’ala merupakan sebab utama untuk mendapatkan petunjuk dan perlindungan Allah dalam semua urusan manusia. Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ}
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (segala keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya” (QS ath-Thalaaq: 3).
Artinya: Barangsiapa yang berserah diri dan bersandar sepenuhnya kepada Allah Ta’ala dalam semua urusan agama dan dunianya, yaitu dengan bersandar kepada-Nya dalam mengusahakan kebaikan bagi dirinya dan menolak keburukan dari dirinya, serta yakin dengan kemudahan yang akan diberikan-Nya, maka Allah Ta’ala akan memudahkan semua urusannya tersebut[5].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 30 Rabi’ul awal 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA



[1] HR Abu Dawud (no. 5095), at-Tirmidzi (no. 3426) dan Ibnu Hibban (no. 822), dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan syaikh al-Albani.
[2] Lihat keterangan imam Ibnu Hibban dalam kitab “Shahih Ibnu Hibban” (3/104).
[3] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 157-158).
[4] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 449).
[5] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 449).

Sumber : Muslim.or.id
Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Pembaca yang budiman, kita patut bersyukur kepada Allah atas taufik yang telah Ia limpahkan hingga kita dapat mengisi waktu yang utama di sepuluh hari awal Dzulhijjah dengan amal shalih. Akan tetapi perlu bagi kita untuk mengetahui beberapa hadits lemah dan palsu, yang sering dijadikan sandaran bagi sebagian kaum muslimin untuk beribadah di waktu yang mulia ini. Diantaranya adalah hadits-hadits sebagai berikut.
Hadits 1
ما من أيام أحب إلى الله أن يتعبد له فيها من عشر ذي الحجة يعدل صيام كل يوم منها بصيام سنة، وقيام كل ليلة منها بقيام ليلة القدر
Tidak ada hari yang paling dicintai Allah untuk diibadahi pada hari itu selain 10 hari di (awal) bulan Dzulhijjah, pahala puasa pada setiap harinya senilai dengan pahala puasa sepanjang tahun, dan sholat pada setiap malamnya senilai dengan sholat pada malam Lailatul Qadar
Dha’if (lemah), Abu ‘Isa (At Tirmidzi) berkata, “Hadits ini gharib tidak diketahui selain dari hadits Mas’ud bin Washil, dari An Nahas, … (dst)”, dan didha’ifkan Syaikh Al Albani dalam Dha’if Sunan Ibnu Majah (1728) no. 377 akan tetapi terdapat perbedaan lafazh dalam hadits ini, lihat Al Misykat (1471), Dha’if Jami’ush Shaghir (5161), dan Dha’if At Targhib no. 123, Silsilah Adh Dha’ifah 5142
Hadits 2
من صام العشر فله بكل يوم صوم شهر ، وله بصوم يوم التروية سنة، وله بصوم يوم عرفة سنتان
Barangsiapa yang berpuasa di 10 (hari awal Dzulhijjah) baginya tiap hari seperti pahala puasa sebulan penuh, pahala puasa Tarwiyah (8 Dzulhijjah) senilai dengan puasa setahun penuh, dan pahala puasa ‘Arafah (9 Dzulhijjah) senilai pahala puasa selama dua tahun
Maudhu’ (palsu), Ibnu Hibban berkata, “Jelas sekali nampak kedustaan di dalamnya hingga tidak perlu lagi dijelaskan derajat haditsnya” lihat Al Maudhu’at karya Ibnul Jauzi (2/112), dan Al Fawa’id Al Majmu’at Kitab Ash Shiyam hadits no. 30, At Tanzih Asy Syari’ah Al Marfu’at (2/187)
Hadits 3
صيام أول يوم من العشر يعدل مائة سنة واليوم الثاني يعدل مائتي سنة فإذا كان يوم التروية يعدل ألف عام وصيام يوم عرفة يعدل ألفي عام
Puasa di 10 hari awal Dzulhijjah pahalanya senilai dengan puasa 100 tahun, hari kedua (Dzulhijjah) senilai puasa 200 tahun, puasa Tarwiyah (8 Dzulhijjah) pahalanya senilai 1000 tahun, dan puasa ‘Arafah (9 Dzulhijjah) senilai 2000 tahun.”
Tidak shahih, lihat Tadzkiratul Maudhu’at (119), Mausu’ah Al Ahadits wa Al Atsar Ad Dha’ifah wa Al Maudhu’at 13434
Hadits 4
صوم يوم التروية كفارة سنة، وصوم يوم عرفة كفارة سنتين
Puasa hari Tarwiyah menjadi kafarah (penghapus dosa –pent) satu tahun, dan puasa hari ‘Arafah menjadi kafarah dua tahun
Maudhu’, lihat Dha’if Al Jami’ no. 3501, Irwa’ul Ghalil 4/121
Hadits 5
كان يصوم تسع ذي الحجة ، ويوم عاشوراء ، وثلاثة أيام من كل شهر ؛ أول اثنين من الشهر ، والخميس ، والاثنين من الجمعة الأخرى
Adalah (Nabi shallallaahu ‘alahi wa sallam) biasa berpuasa pada kesembilan hari di bulan Dzulhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulannya, hari Senin pada setiap awal bulan, dan hari Kamis dan Senin setelah Jumat kedua
Dha’if, Az Zaila’i berkata hadist ini dha’if. Lihat Dha’if Al Jami’ no. 4570
Hadits 6
ما من أيام أفضل عند الله ولا العمل فيهن أحب إلى الله عز وجل من هذه الأيام – يعني من العشر – ، فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير وذكر الله ، والعمل فيهن يضاعف بسبعمائة
Tidak ada hari yang lebih utama di sisi Allah dan tidak ada amal yang dikerjakan di waktu tersebut yang paling dicintai Allah ‘Azza wa Jalla daripada hari ini –yaitu 10 hari di awal bulan Dzulhijjah- maka perbanyaklah kalian bertahlil dan bertakbir mengingat Allah di dalamnya. Amal di bulan ini dilipatgandakan 700 kali.
Dha’if, didha’ifkan oleh Al Albani dalam Dha’if At Targhib wa At Tarhib 1/364
Hadits 7
اختار الله عز وجل الزمان ، فأحب الزمان إلى الله عز وجل ذو الحجة ، وأحب ذي الحجة إلى الله عز وجل العشر الأول
Allah ‘Azza wa Jalla telah memilih satu waktu, dan waktu yang paling Allah ‘Azza wa Jalla cintai ialah Dzulhijjah, dan waktu yang paling Allah ‘Azza wa Jalla cintai di bulan Dzulhijjah ialah sepuluh hari awal.
Didha’ifkan oleh Ibnu ‘Adi, dan Ibnu Rajab di Latha’iful Ma’arif 467
Hadits 8
عن الأوزاعي رحمه الله قال : بلغني أن العمل في اليوم من أيام العشر كقدر غزوة في سبيل الله ، يصام نهارها ويحرس ليلها ، إلا أن يختص امرؤ بشهادة 0 حدثني بهذا الحديث رجل من بني مخزوم عن النبي صلى الله عليه وسلم
Dari Al Auza’I rahimahullah beliau berkata, “Telah sampai kepadaku bahwasanya amal di sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah pahalanya seperti berperang di jalan Allah, siang harinya diisi dengan puasa dan malam harinya dengan giat (beribadah), kecuali seseorang yang telah dikhususkan dengan syahadah (mati syahid)”. Telah menceritakan kepadaku dengan hadits ini seorang dari Bani Makhzum, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Didha’ifkan Al Albani dalam Dha’if At Targhib dan At Tarhib 1/365 dan makna hadits ini shahih dengan lafadz selain ini (yaitu “berpuasa di siang harinya dan giat beribadah di malam harinya”) lihat Shahih Ibnu Hibban 3853
Hadits 9
أربع لم يكن يدعهن النبي صلى الله عليه وسلم : صيام عاشوراء ، والعشر ، وثلاثة أيام من كل شهر ، والركعتين قبل الغداة
Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Puasa hari ‘Asyura (10 Muharram –pent), 10 hari di awal Dzulhijjah, tiga hari di setiap bulan, dan dua raka’at sebelum matahari terbit
Didha’ifkan oleh Al Albani dalam Al Irwa’ (4/111), Shahih wa Dha’if Sunan An Nasa’I (2416
Hadits 10
كان يقال في أيام العشر : لكل يوم ألف يوم ، ويوم عرفة : عشرة أيام يوم ، يعني في الفضل
Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa mengatakan pada hari-hari di sepuluh awal Dzulhijjah, ’Setiap hari pahalanya seperti 1000 hari’ dan pada hari Arafah, ‘Pahalanya 10 kali lipat dari hari seperti ini.’
Didha’ifkan oleh Al Albani dalam Dha’if At Targhib wa At Tarhib 1/365
Hadits 11
أن شاباً كان صاحب سماع فكان إذا هل الهلال ذي الحجة أصبح صائما فأرسل إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال ما يحملك على صيام هذه الأيام؟ قال بأبي وأمي يا رسول الله إنها أيام المشاعر وأيام الحج عسى الله عز وجل أن يشركني في دعائهم، فقال لك بكل يوم عدل مائة رقبة تعتقها، ومائة رقبة تهديها إلى بيت الله، ومائة فرس تحمل عليها في سبيل الله فإذا كان يوم التروية، فذلك عدل ألف رقبة، وألف بدنة، وألف فرس تحمل عليها في سبيل الله إذا كان يوم عرفة، فذلك عدل ألفي رقبة، وألفي بدنة، وألفي تحمل عليها في سبيل الله، وصيام سنتين قبلها، وسنتين بعدها
Ada seorang pemuda yang biasa memperdengarkan (nyanyian) dan setiap nampak hilal bulan Dzulhijjah ia berpuasa, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam diutus kepadanya dan berkata, ‘Apa yang membuatmu berpuasa pada hari-hari ini?”. Ia menjawab, “Demi ayah dan ibuku wahai Rasulullah, sesungguhnya inilah hari-hari Masya’ir dan Haji, aku berharap Allah ‘Azza wa Jalla menyertakanku dalam do’a mereka. Kemudian Nabi berkata kepadanya, ‘Setiap harinya (engkau berpuasa –pent) senilai dengan pahala membebaskan 100 budak, kemudian 100 budak tersebut menjadi penunjuk jalan ke Baitullah, dan 100 kuda betina yang mereka kendarai di jalan Allah jika itu hari Tarwiyah, senilai dengan 1000 budak, dan 1000 unta, dan 1000 kuda yang mereka kendarai di jalan Allah jika itu hari Arafah, senilai dengan 2000 budak dan 2000 unta, dan 2000 yang mereka kendarai di jalan Allah, dan puasa dua tahun sebelumnya, dan puasa dua tahun setelahnya”.
Maudhu’ (Palsu), sebagaimana dalam “Al Maudhu’at” (2/111), La’ali’ (2/107), At Tanzih Asy Syari’ah 2/148, dan Al Fawa’id Al Majmu’ah (95)
Hadits 12
في اول يوم من ذي الحجة غفر الله فيه لآدم ومن صام هذا اليوم غفر الله له كل ذنب
و في اليوم الثاني استجاب الله لسيدنا يوسف, ومن صام هذا اليوم كمن عبد الله سنة و لم يعص الله طرفة عين
و في اليوم الثالث استجاب الله دعاء زكريا , ومن صام هذا اليوم استجاب الله لدعاه
و في اليوم الرابع ولد سيدنا عيسى عليه السلام, ومن صام هذا اليوم نفى الله عنه الياس و الفقر و في يوم القيامة يحشر مع السفرة الكرام
و في اليوم الخامس ولد سيدنا موسى عليه السلام, و من صام هذا اليوم برئ من النفاق و عذاب القبر
و في اليوم السادس فتح الله لسيدنا محمد عليه الصلاة و السلام بالخير,و من صامه ينظر الله اليه بالرحمة و لا يعذبه أبدا
و في اليوم السابع تغلق فيه أبواب جهنم, و من صامه أغلق الله له ثلاثون بابا من العسر و فتح الله له ثلا ثين بابا من الخير
و في اليوم الثامن المسمى بيوم التروية و من صامه أعطي له من الأجر ما لا يعلمه إلا الله
و في اليوم التاسع و هو يوم عرفة من صامه يغفر الله له سنة من قبل و سنة من بعد
و في اليوم العاشر يكون عيد الأضحى و فيه قربان و ذبح ذبيحة و عند أول قطرة من دماء الذبيحة يغفر الله ذنوبه وذنوب أولاده. ومن أطعم فيه مؤمنا و تصدق بصدقة بعثه الله يوم القيامة آمنا و يكون ميزانه أثقل من جبل أحد
Di hari pertama bulan Dzulhijjah Allah mengampuni Adam dan barangsiapa yang berpuasa pada hari tersebut Allah akan mengampuni seluruh dosanya”
“Di hari kedua Allah mengabulkan doa sayyidina Yusuf, dan barangsiapa yang berpuasa di hari itu pahalanya seperti beribadah kepada Allah setahun penuh dan tidak bermaksiat walau sekejap mata”
“Di hari ketiga Allah mengabulkan doa Zakaria, dan barangsiapa yang berpuasa pada hari itu Allah akan mengabulkan doanya”
“Di hari keempat lahir sayyidina ‘Isa ‘alaihissalam, dan barangsiapa berpuasa pada hari itu Allah akan menghilangkan kefakiran darinya dan pada hari kiamat ia akan dikumpulkan bersama As Safarat Al Kiram (malaikat yang mulia –pent)
“Di hari kelima lahirlah Musa ‘alaihissalam, dan barangsiapa berpuasa pada hari itu ia akan dibebaskan dari sifat munafik dan adzab kubur”
“Di hari keenam Allah membukakan sayyidina Muhammad ‘alaihis sholatu wassalam kebaikan, dan barangsiapa berpuasa pada hari itu Allah akan melihatnya dengan rahmat-Nya dan ia tidak akan diadzab”
“Di hari ketujuh ditutup pintu-pintu jahannam, dan barangsiapa berpuasa pada hari itu Allah akan tutup baginya 30 pintu kesulitan dan Allah bukakan baginya 30 pintu kebaikan”
“Di hari kedelapan yang disebut juga dengan hari Tarwiyah, barangsiapa berpuasa pada hari itu akan diberi balasan yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali Allah”
“Di hari kesembilan yaitu hari Arafah barangsiapa berpuasa pada hari itu Allah akan mengampuni dosanya selama setahun sebelumnya, dan setahun sesudahnya”
“Di hari kesepuluh yaitu Idul Adha, di dalamnya terdapat qurban, penyembelihan, dan pengaliran darah (hewan qurban), Allah akan mengampuni dosa anak-anaknya (yaitu orang yang berpuasa tadi –pent). Barangsiapa yang member makan orang mukmin dan bershadaqah Allah akan mengutus baginya pada hari kiamat, keamanan dan timbangannya lebih berat dari Gunung Uhud
Hadits ini tidak ada asalnya, namun banyak tersebar di forum-forum internet
Hadits 13
من صام يوم ثمان عشرة من ذي الحجة ؛ كتب له صيام ستين شهراً
Barangsiapa berpuasa pada hari ke-28 Dzulhijjah, akan dituliskan baginya pahala puasa 60 bulan
Sanadnya dha’if, lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dha’ifah 10/594
Hadits 14
كان إذا فاته شيء من رمضان ؛ قضاه في عشر ذي الحجة
Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam jika beliau terlewat beberapa hari di bulan Ramadhan, beliau mengqadha’nya di sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah
Dha’if. Silsilah Al Ahadits Adh Dha’ifah 12/989
[Diterjemahkan dari artikel di http://www.subulassalaam.com/articles/articlea.cfm?article_id=142 ]

Penerjemah: Yhouga Ariesta
sumber : muslim.or.id
Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Qurban… Oh... Qurban

Seorang pedagang Qurban, menceritakan ke seorang sahabat...
Setelah melayani pembeli, saya melihat seorang ibu sedang memperhatikan dagangan kami, dilihat dari penampilannya sepertinya tidak akan membeli apa-apa. Namun saya coba menghampiri dan menawarkan...
Silahkan, Bu..."
Ibu itu menunjuk, “Kalau yang itu berapa harganya?” Ibu itu menunjuk hewan yang paling murah.
"Kalau yang itu harganya 600.000 rupiah, Bu...", jawab saya.
"Harga pasnya berapa?", si Ibu bertanya lagi.
"500.000 saja. Harga seperti itu untung saya kecil, Bu, tapi tidak apa-apa...", jawab saya.
Ibu itu memelas, “Uang saya cuma ada 450.000, boleh?”.
Waduh, saya bingung, karena itu harga modal kami, akhirnya saya putuskan, “Tidak apa-apa...
Saya pun mengantar hewan ibu. Ketika sampai di rumah ibu tersebut, astaghfirullaah, Allahu Akbar, terasa menggigil seluruh badan demi melihat keadaan rumah tersebut. Ibu itu hanya tinggal bertiga dengan Ibunya dan satu orang anaknya di rumah gubuk berlantai tanah. Saya tidak melihat tempat tidur/kasur, yang ada hanya dipan kayu beralas tikar lusuh.
Di atas dipan sedang tertidur seorang nenek tua kurus.
Mak! bangun mak, nih liat Sumi bawa apa...", Ibu tersebut membangunkan beliau.
Perempuan tua itu terbangun.
"Mak Sumi sudah membeli kambing untuk emak qurban, ntar kita bawa ke Masjid, ya, Mak".
Orang tua itu terkejut namun bahagia, sambil mengelus-elus kambing...
Orang tua itu berucap, "Alhamdulillah, akhirnya kesampaian juga emak qurban."
Kemudian Ibu tersebut berkata, “Ini uangnya, Pak, maaf bila saya menawar terlalu murah, saya hanya tukang cuci, saya sengaja kumpulkan uang untuk beli kambing yang mau saya niatkan buat qurban ibu saya."
Duhai Allah, ampuni dosa hamba, hamba malu berhadapan dengan hambaMU yang satu ini. HambaMU yang Miskin Harta tapi dia kaya Iman.
Seperti bergetar bumi ini setelah mendengar niat dari ibu ini.  Saya cepat pergi sebelum ibu itu tahu kalau mata ini sudah basah karena tak sanggup mendapat teguran dari Allah yang sudah mempertemukan dengan hambaNYA yang dengan kesabaran, ketabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan orang tuanya!
Penulis : Andri Shiddiq
Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Fiqih Qurban

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (QS. Al Kautsar: 2). Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, “Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied.” Pendapat ini dinukilkan dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam, 534 Taudhihul Ahkaam, IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis)
Pengertian Udh-hiyah
Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)

Keutamaan Qurban
Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)
Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah. (lih. Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521)
Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454)
Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120)
Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Hewan yang Boleh Digunakan Untuk Qurban
Hewan qurban hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu) yaitu onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406) Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (QS. Al Hajj: 34) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul Mumti’, III/409)
Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B, karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan:”Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dst.
Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan?
Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406)
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.
Arisan Qurban Kambing?
Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj:36)(*) Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.
(*) Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: “Kamu berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab: “Saya mendengar Allah berfirman: لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut) (QS: Al Hajj:36).” (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36).
Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net di bawah pengawasan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul Mumti’ 7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat.” (lih. Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).
Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami untuk kasus orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau kasus hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban dipahami untuk kasus orang yang kesulitan melunasi hutang atau hutang yang menuntut segera dilunasi. Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu a’lam.
Qurban Kerbau?
Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau, dari kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.
Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.
Pertanyaan:
“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”
Beliau menjawab:
“Jika hakekat kerbau termasuk sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh 200/27)
Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a’lam.
Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di lembaga pendidikan di daerah kita, ketika iedul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana dipahami di muka, biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban.
Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
  • Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada yang sudah meninggal.
  • Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51.
Umur Hewan Qurban
Untuk onta dan sapi: Jabir meriwayatkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelihdomba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)
Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:
No.
Hewan
Umur minimal
1.
Onta
5 tahun
2.
Sapi
2 tahun
3.
Kambing jawa
1 tahun
4.
Domba/ kambing gembel
6 bulan
(domba Jadza’ah)
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/371-372, Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)
Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 (**):
  • Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
  • Sakit dan tampak sekali sakitnya.
  • Pincang dan tampak jelas pincangnya: Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
  • Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).
Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 (***):
  • Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
  • Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
(**) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: “Ada empat cacat… dan beliau berisyarat dengan tangannya.” (HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/464)
(***) Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dlo’if, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/470)
Hewan yang Disukai dan Lebih Utama untuk Diqurbankan
Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “…barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32). Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan untuk memilih hewan qurban yang besar dan gemuk. Abu Umamah bin Sahl mengatakan, “Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu adalah berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk.” (HR. Bukhari secara mu’allaq namun secara tegas dan dimaushulkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Mustakhraj, sanadnya hasan)
Diantara ketiga jenis hewan qurban maka menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah berqurban dengan onta, kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing-masing ditanggung satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu ‘anhu tentang budak yang lebih utama. Beliau bersabda, “Yaitu budak yang lebih mahal dan lebih bernilai dalam pandangan pemiliknya” (HR. Bukhari dan Muslim). (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/374)
Manakah yang Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?
Sebagian ulama menjelaskan qurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau onta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih Fiqh Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul Mumthi’ 7/458). Disamping itu, terdapat alasan lain diantaranya:
  • Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
  • Kegiatan menyembelihnya lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan keutamaan qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafi’i. (lih. Al Muhadzab 1/74)
  • Terdapat sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya adalah Mufti Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah 11/453). Namun pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunnah, sehingga jelas salahnya.
Apakah Harus Jantan?
Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan qurban. Boleh jantan maupun betina. Dari Umu Kurzin radliallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aqiqah untuk anal laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina.” (HR. Ahmad 27900 & An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani). Berdasarkan hadis ini, Al Fairuz Abadzi As Syafi’i mengatakan: “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika aqiqah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berqurban.” (Al Muhadzab 1/74)
Namun umumnya hewan jantan itu lebih baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina. Oleh karena itu, tidak harus hewan jantan namun diutamakan jantan.
Larangan Bagi yang Hendak Berqurban
Orang yang hendak berqurban dilarang memotong kuku dan memotong rambutnya (yaitu orang yang hendak qurban bukan hewan qurbannya). Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim). Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk bagian manapun, mencakup larangan mencukur gundul atau sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/376).
Apakah larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga untuk anggota keluarga shohibul qurban?
Jawab: Larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga (shohibul qurban) dan tidak berlaku bagi anggota keluarganya. Karena 2 alasan:
  • Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau berqurban.
  • Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya. Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau menyuruh anggota keluarganya untuk tidak memotong kuku maupun rambutnya. (Syarhul Mumti’ 7/529)
Waktu Penyembelihan
Waktu penyembelihan qurban adalah pada hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari tasyriq). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hari taysriq adalah (hari) untuk menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu siang ataupun malam. Baik siang maupun malam sama-sama dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al Utsaimin, melakukan penyembelihan di waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 33). Para ulama sepakat bahwa penyembelihan qurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Ied maka sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna dan dia telah menepati sunnahnya kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/377)
Tempat Penyembelihan
Tempat yang disunnahkan untuk menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat ‘ied diselenggarakan. Terutama bagi imam/penguasa/tokoh masyarakat, dianjurkan untuk menyembelih qurbannya di lapangan dalam rangka memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa qurban sudah boleh dilakukan dan mengajari tata cara qurban yang baik. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyembelih kambing dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat.” (HR. Bukhari 5552).
Dan dibolehkan untuk menyembelih qurban di tempat manapun yang disukai, baik di rumah sendiri ataupun di tempat lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378)
Penyembelih Qurban
Disunnahkan bagi shohibul qurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri namun boleh diwakilkan kepada orang lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam masalah ini.” Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di dalam Shahih Muslim yang menceritakan bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu untuk disembelih. (lih. Ahkaamul Idain, 32)
Tata Cara Penyembelihan
  • Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
  • Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang menyaksikan penyembelihannya.
  • Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
  • Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.
  • Ketika akan menyembelih disyari’akan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar” ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
    • hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) Atau
    • hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau
    • Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, “Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)” (lih. Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)Catatan: Tidak terdapat do’a khusus yang panjang bagi shohibul qurban ketika hendak menyembelih. Wallahu a’lam.
Bolehkah Mengucapkan Shalawat Ketika Menyembelih?
Tidak boleh mengucapkan shalawat ketika hendak menyembelih, karena 2 alasan:
  • Tidak terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan shalawat ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah.
  • Bisa jadi orang akan menjadikan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wasilah ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang membayangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sehingga sembelihannya tidak murni untuk Allah. (lih. Syarhul Mumti’ 7/492)
Pemanfaatan Hasil Sembelihan
Bagi pemilik hewan qurban dibolehkan memanfaatkan daging qurbannya, melalui:
  • Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.
  • Disedekahkan kepada orang yang membutuhkan
  • Dihadiahkan kepada orang yang kaya
  • Disimpan untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.
Dari Salamah bin Al Akwa’ dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang berqurban maka jangan sampai dia menjumpai subuh hari ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih tersisa walaupun sedikit.” Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu ?” Maka beliau menjawab, “(Adapun sekarang) Makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Menurut mayoritas ulama perintah yang terdapat dalam hadits ini menunjukkan hukum sunnah, bukan wajib (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378) Oleh sebab itu, boleh mensedekahkan semua hasil sembelihan qurban. Sebagaimana diperbolehkan untuk tidak menghadiahkannya (kepada orang kaya, ed.) sama sekali kepada orang lain (Minhaajul Muslim, 266). (artinya hanya untuk shohibul qurban dan sedekah pada orang miskin, ed.)
Bolehkah Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir?
Ulama madzhab Malikiyah berpendapat makruhnya memberikan daging qurban kepada orang kafir, sebagaimana kata Imam Malik: “(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih aku sukai.” Sedangkan syafi’iyah berpendapat haramnya memberikan daging qurban kepada orang kafir untuk qurban yang wajib (misalnya qurban nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban yang sunnah. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 29843). Al Baijuri As Syafi’I mengatakan: “Dalam Al Majmu’ (Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban sunnah kepada kafir dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban yang wajib.” (Hasyiyah Al Baijuri 2/310)
Lajnah Daimah (Majlis Ulama’ saudi Arabia) ditanya tentang bolehkah memberikan daging qurban kepada orang kafir.
Jawaban Lajnah:
“Kita dibolehkan memberi daging qurban kepada orang kafir Mu’ahid (****) baik karena statusnya sebagai orang miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati mereka… namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang kafir Harby, karena kewajiban kita kepada kafir harby adalah merendahkan mereka dan melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah 8)
Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakr radhiallahu ‘anhu untuk menemui ibunya dengan membawa harta padahal ibunya masih musyrik.” (Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).
Kesimpulannya, memberikan bagian hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.
(****) Kafir Mu’ahid: Orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Termasuk orang kafir mu’ahid adalah orang kafir yang masuk ke negeri islam dengan izin resmi dari pemerintah. Kafir Harby: Orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Kafir Dzimmi: Orang kafir yang hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin.
Larangan Memperjual-Belikan Hasil Sembelihan
Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan terdapat ancaman keras dalam masalah ini, sebagaimana hadis berikut:
من باع جلد أضحيته فلا أضحية له
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.” (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)
Tetang haramnya pemilik hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun Imam Abu Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.
Catatan:
  • Termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
  • Transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas).” (Fiqh Syafi’i 2/311).
  • Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.
Larangan Mengupah Jagal Dengan Bagian Hewan Sembelihan
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa “Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim). Danini merupakan pendapat mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/379)
Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan, “Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…..” (Taudhihul Ahkaam, IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: “Haram menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal.” Perkataan beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri: “Karena hal itu (mengupah jagal) semakna dengan jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban dengan status sedekah bukan upah maka tidak haram.” (Hasyiyah Al Baijuri As Syafi’i 2/311).
Adapun bagi orang yang memperoleh hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak diperkenankan menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah kepadanya (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)
Menyembelih Satu Kambing Untuk Makan-Makan Panitia? Atau Panitia Dapat Jatah Khusus?
Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari shohibul qurban dan bukan amil (*****). Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia qurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan qurban. Untuk lebih memudahkan bisa diperhatikan ilustrasi kasus berikut:
Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta kepada Budi. Karena tidak bisa ketemu langsung maka Adi mengutus Rudi untuk mengantarkan uang tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya transport dan biaya lainnya maka Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi. Bolehkah uang ini diambilkan dari uang Rp 1 juta yang akan dikirimkan kepada Budi?? Semua orang akan menjawab: “TIDAK BOLEH KARENA BERARTI MENGURANGI UANGNYA BUDI.”
Status Rudi pada kasus di atas hanyalah sebagai wakil Adi. Demikian pula qurban. Status panitia hanya sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak boleh mengambil bagian qurban sebagai ganti dari jasanya. Oleh karena itu, jika menyembelih satu kambing untuk makan-makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus sebagai ganti jasa dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak diperbolehkan.
(*****) Sebagian orang menyamakan status panitia qurban sebagaimana status amil dalam zakat. Bahkan mereka meyebut panitia qurban dengan ‘amil qurban’. Akibatnya mereka beranggapan panitia memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat memiliki jatah khusus dari harta zakat. Yang benar, amil zakat tidaklah sama dengan panitia pengurus qurban. Karena untuk bisa disebut amil, harus memenuhi beberapa persyaratan. Sementara pengurus qurban hanya sebatas wakil dari shohibul qurban, sebagaimana status sahabat Ali radhiallahu ‘anhu dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada riwayat Ali radhiallahu ‘anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nasehat & Solusi Untuk Masalah Kulit
Satu penyakit kronis yang menimpa ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka tidak bisa lepas dari ‘fiqh praktis’ menjual kulit atau menggaji jagal dengan kulit. Memang kita akui ini adalah jalan pintas yang paling cepat untuk melepaskan diri dari tanggungan mengurusi kulit. Namun apakah jalan pintas cepat ini menjamin keselamatan??? Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum muslimin… sesungguhnya ibadah qurban telah diatur dengan indah dan rapi oleh Sang Peletak Syari’ah. Jangan coba-coba untuk keluar dari aturan ini karena bisa jadi qurban kita tidak sah. Berusahalah untuk senantiasa berjalan sesuai syari’at meskipun jalurnya ‘kelihatannya’ lebih panjang dan sedikit menyibukkan. Jangan pula terkecoh dengan pendapat sebagian orang, baik ulama maupun yang ngaku-ngaku ulama, karena orang yang berhak untuk ditaati secara mutlak hanya satu yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka semua pendapat yang bertentangan dengan hadis beliau harus dibuang jauh-jauh.
Tidak perlu bingung dan merasa repot. Bukankah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah mengurusi qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya 100 ekor onta?! Tapi tidak ada dalam catatan sejarah Ali bin Abi thalib radhiallahu ‘anhu bingung ngurusi kulit dan kepala. Demikianlah kemudahan yang Allah berikan bagi orang yang 100% mengikuti aturan syari’at. Namun bagi mereka (baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa dilakukan beberapa solusi berikut:
  • Kumpulkan semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari shohibul qurban dalam menjual kulit.
  • Serahkan semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan bagian hewan qurban kepada yayasan).
Mengirim sejumlah uang untuk dibelikan hewan qurban di tempat tujuan (di luar daerah pemilik hewan) dan disembelih di tempat tersebut? atau mengirimkan hewan hidup ke tempat lain untuk di sembelih di sana?
Pada asalnya tempat menyembelih qurban adalah daerah orang yang berqurban. Karena orang-orang yang miskin di daerahnya itulah yang lebih berhak untuk disantuni. Sebagian syafi’iyah mengharamkan mengirim hewan qurban atau uang untuk membeli hewan qurban ke tempat lain – di luar tempat tinggal shohibul qurban – selama tidak ada maslahat yang menuntut hal itu, seperti penduduk tempat shohibul qurban yang sudah kaya sementara penduduk tempat lain sangat membutuhkan. Sebagian ulama membolehkan secara mutlak (meskipun tidak ada tuntutan maslahat). Sebagai jalan keluar dari perbedaan pendapat, sebagian ulama menasehatkan agar tidak mengirim hewan qurban ke selain tempat tinggalnya. Artinya tetap disembelih di daerah shohibul qurban dan yang dikirim keluar adalah dagingnya. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 2997, 29048, dan 29843 & Shahih Fiqih Sunnah, II/380
Kesimpulannya, berqurban dengan model seperti ini (mengirim hewan atau uang dan bukan daging) termasuk qurban yang sah namun menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tiga hal:
  • Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radiallahu ‘anhum tidak pernah mengajarkannya
  • Hilangnya sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban
  • Hilangnya sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.
Wallaahu waliyut taufiq.
Bagi para pembaca yang ingin membaca penjelasan yang lebih lengkap dan memuaskan silakan baca buku Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diterjemahkan Ustadz Aris Munandar hafizhahullah dari Talkhish Kitab Ahkaam Udh-hiyah wadz Dzakaah karya Syaikh Al Utsaimin rahimahullah, penerbit Media Hidayah. Semoga risalah yang ringkas sebagai pelengkap untuk tulisan saudaraku Abu Muslih hafizhahullah ini bermanfaat dan menjadi amal yang diterima oleh Allah ta’ala, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta seluruh pengikut beliau yang setia. Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin.
Yogyakarta, 1 Dzul hijjah 1428
Keutamaan Tanggal 1 Sampai 10 Dzul Hijjah
Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ما من أيّام العمل الصّالح فيها أحبّ إلى اللّه من هذه الأيّام – يعني أيّام العشر – قالوا : يا رسول اللّه ولا الجهاد في سبيل اللّه ؟ قال : ولا الجهاد في سبيل اللّه ، إلاّ رجل خرج بنفسه وماله ، فلم يرجع من ذلك بشيء.
Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan selama 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah.” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud & dishahihkan Syaikh Al Albani)
Berdasarkan hadis tersebut, ulama’ sepakat dianjurkannya berpuasa selama 8 hari pertama bulan Dzul hijjah. Dan lebih ditekankan lagi pada tanggal 9 Dzul Hijjah (Hari ‘Arafah)
Diceritakan oleh Al Mundziri dalam At Targhib (2/150) bahwa Sa’id bin Jubair (Murid terbaik Ibn Abbas) ketika memasuki tanggal satu Dzul Hijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah sampai hampir tidak bisa mampu melakukannya.
Bagaimana dengan Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzul Hijjah) Secara Khusus?
Terdapat hadis yang menyatakan: “Orang yang berpuasa pada hari tarwiyah maka baginya pahala puasa satu tahun.” Namun hadis ini hadits palsu sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Zauzy (Al Maudhu’at 2/198), As Suyuthi (Al Masnu’ 2/107), As Syaukani (Al Fawaidul Majmu’ah).
Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzul Hijjah karena hadisnya dhaif. Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadis shahih di atas maka diperbolehkan. (disarikan dari Fatwa Yas-aluunaka, Syaikh Hissamuddin ‘Affaanah). Wallaahu a’lam.
***

Artikel ini merupakan tulisan yang melengkapi artikel tentang Fiqh Qurban yang ditulis Al Akh Al Fadhil Abu Mushlih Ari Wahyudi
sumber : muslim.or.id
Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati